Kontroversi Penggunaan Kata 'Jangan' Dalam Pendidikan Anak

Pola pendidikan Barat yang cenderung sekuler dan liberal tentulah sangat berbeda dengan pendidikan Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan Al-Hadits. Salah satu yang masih menjadi perdebatan adalah penggunaan kata 'jangan' yang sangat dilarang pada pola pendidikan modern berdasarkan teori psikologi yang berasal dari dunia Barat, karena akan berakibat buruk pada kondisi psikis anak di masa depan. Sementara itu para pendidik yang mengaku menganut pendidikan berdasarkan syari'at Islam menyatakan bahwa penggunaan kata 'jangan' tidak bermasalah sama sekali, karena dengan menggunakan kata 'jangan' anak dididik untuk memahami tentang hal-hal yang baik dan yang buruk, dimana hal tersebut akan berpengaruh pada kehidupan mereka pada masa yang akan datang terutama di akhirat kelak.

KATA "JANGAN" DALAM POLA PENDIDIKAN MODERN

Dalam pola pendidikan yang dikatakan 'modern' pada masa kini, para pendidik atau orang tua sangat dianjurkan untuk menghindari kata 'jangan' saat melarang anaknya melakukan sesuatu. Kata 'jangan' akan memberikan nuansa negatif, maka sebaiknya diganti dengan kata yang lebih positif.

Berikut beberapa alasan mengapa kata 'jangan' sebaiknya dihindari.

Pertama, kata 'jangan' memotong kesenangan Contohnya, ketika seorang anak bermain kotor-kotoran, ibunya mengatakan, "Jangan bermain kotor-kotoran." Perkataan itu memang akan menghentikan tindakan anak tersebut yang sedang kotor-kotoran, tapi tidak akan mengubah perilaku anak tersebut. Larangan tersebut akan menimbulkan efek rasa kesal, jengkel, dan sejenisnya.

Kedua, kata 'jangan' menghambat perkembangan kreativitas Dampak negatif jika orang tua sering mengatakan 'jangan' ketika anak melakukan sesuatu, maka anak tidak akan leluasa menuangkan hasrat untuk berkreativitas dan rasa ingin tahu anak akan berkurang.

Ketiga, kata 'jangan' mempersempit pilihan Ketika orang tua melarang anaknya dengan mengatakan 'jangan', maka akan tersimpan dalam otak anak tersebut bahwa hal tersebut dilarang untuk dilakukan. Lalu bagaimana jika suatu saat anak tersebut dihadapkan oleh keadaan yang sebaliknya, tetapi ia tidak mau melakukan hal tersebut, karena dalam memorinya tersimpan bahwa hal tersebut dilarang untuk dilakukan. Misalnya, "Jangan memberi makan pada pengemis, nanti mereka manja!" (Hadeehh…!)

Terakhir, kata 'jangan' tidak mengandung solusi Kata 'jangan' yang dilontarkan orang tua kebanyakan tidak mengandung solusi. Contohnya, "Jangan main hujan-hujanan!" akan berbeda dengan mengatakan "Ayo main mobil-mobilan saja yuk, kalau hujan-hujanan nanti kamu sakit." Tentu kalimat yang dilontarkan oleh orang tua kepada anak tersebut sangat berbeda. Singkatnya, banyak hal-hal negatif yang dapat ditimbulkan dengan mengatakan 'jangan' pada anak. Oleh sebab itu, sebaiknya kata 'jangan' pada anak dihindari dengan menggunakan bahasa lain yang sifatnya mengajak.

KATA "JANGAN" DALAM POLA PENDIDIKAN ISLAM 

Dalam pola pendidikan Islam, penggunaan kata 'jangan' bersifat wajib untuk disampaikan ketika hal tersebut berkaitan dengan tauhid dan akhlaq. Bahkan ada lebih dari 500 kalimat dalam Al-Qur'an yang menggunakan kata 'jangan'.
Teladan terbaik dalam pendidikan berdasarkan syari'at adalah seperti yang dicontohkan oleh Luqman Al-Hakim yang telah disampaikan Al-Qur'an sebagai berikut:

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada ALLAH. Dan barangsiapa bersyukur (kepada ALLAH), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesunggguhnya ALLAH Maha Kaya Lagi Maha Terpuji. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai anakku, janganlah kamu memperkutukan ALLAH, sesungguhnya mempersekutukan (ALLAH) adalah benar-benar kedhaliman yang besar. …Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (Q.S. Luqman 31 : 12-19)

Ketika seorang anak diajarkan untuk bersyahadat, dia akan mengatakan kata peniadaan yakni
'Tidak Ada Illah yang berhak disembah dan diibadahi, kecuali ALLAH. Dan Nabi Muhammad adalah utusan ALLAH.'
Di dalam Al-Qur'an akan sering ditemukan kata yang mengandung maksud larangan dan peniadaan, di dalam Islam pun terdapat konsep taqwa, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Di dalam amar ma'ruf nahi mungkar juga mengandung maksud pengajuran pada hal yang diperintahkan dan pelarangan pada sesuatu yang dilarang oleh syari'at.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu yang dikenal sebagai 'gerbangnya ilmu' berkata, "Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu."

Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ada tiga pengelompokan dalam cara memperlakukan anak:

1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja.
2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan.
3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai shahabat.

Dalam kaidah hukum Islam juga terdapat 5 hukum syara', yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Kelimanya harus mulai diajarkan secara tegas kepada anak sejak dini.
Dan cara penyampaiannya dalam bentuk perkataan juga berbeda untuk setiap hukum syara' tersebut.

PERMASALAHAN PENGGUNAAN KATA 'JANGAN'
Banyak lembaga psikologi terapan yang melakukan promosi gencar, rayuan begitu indah dan penampilan yang begitu memukau. Mereka selalu menyarankan, salah satunya agar kita membuang kata 'jangan' ketika berinteraksi dengan anak-anak. Parenting ala Barat ini begitu memukau para orang tua muda, termasuk orang tua dan para pendidik muslim.

Seseorang yang mengaku humanis berkata, "Al-Qur'an itu kuno, konservatif, out of dated! Kita telah lama hidup dalam nuansa humanis, tetapi Al-Qur'an masih menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang diinginkan Tuhan dengan rupa perintah dan larangan di saat riset membuktikan kalau pemberian motivasi dan pilihan itu lebih baik. Al-Qur’an masih memakai ratusan kata 'jangan' di saat para psikolog dan pakar parenting telah lama meninggalkannya. Apakah Tuhan tidak paham kalau penggunaan negasi yang kasar itu dapat memicu agresifitas anak-anak, perasaan divonis, dan tertutupnya jalur dialog?"

Orang ini berkata sambil duduk di atas sofa dan kakinya diangkat ke atas meja.

Pernahkah Anda membayangkan kalau pernyataan dan sikap itu dilakukan oleh anak kita, suatu saat nanti? Itu mungkin saja terjadi jika anak terus menerus dididik dengan pola didikan Barat yang tidak memberi batasan tegas soal aturan dan hukum.
Mungkin saja anak kita menjadi demikian hanya gara-gara sejak dini ia tidak pernah dilarang atau mengenal negasi 'jangan'. Membuang kata 'jangan' justru akan menjadikan anak merasa dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya. Anak-anak hasil didikan tanpa kata 'jangan' berisiko tidak memiliki perasaan syari'ah dan keterikatan hukum. Mereka tidak akan peduli melihat kema'siyatan yang bertebaran karena dalam hatinya berkata, "Itu pilihan mereka, saya tidak demikian." Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi, "Mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya." Dan inilah sebenar-benarnya paham liberal, yang 'humanis', toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.

JALAN TENGAH PEMECAHAN MASALAH

Kata 'jangan' dalam pendidikan sangat berkaitan erat dengan maksud dan tujuan, maka perlu ada tambahan penjelasan setelahnya. Ketika seseorang mengatakan kata 'jangan' biasanya disertai dengan marah. Padahal yang sebenarnya harus disampaikan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Maka disebabkan dari ALLAH-lah kamu berlaku lemah lembut. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Q.S. Āli 'Imrān 3 : 159)
"Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat serasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min." (Q.S. At-Taubah 9 : 128)

Pada saat yang berbahaya dan mengkhawatirkan, kata 'jangan' perlu diucapkan sebagai pencegahan. Misalnya ketika anak Anda yang masih balita berjalan cepat ke arah sumur, lalu Anda dari kejauhan berkata, "Ayo nak, lebih baik main disini." Bisa jadi anak Anda keburu kecebur sumur sebelum dia mengerti makna ucapan Anda. Berbeda jika Anda secara refleks mengatakan, "Jangan kesana nak, nanti jatuh… berbahaya!" Kemungkinan besar anak akan kaget, menghentikan langkahnya dan menoleh pada Anda. Ada juga yang berpendapat untuk mengganti kata 'jangan' dengan mengatakan kata perintah seperti dalam militer karena cenderung lebih tegas, seperti kata 'berhenti' atau 'stop'. Sebenarnya kata tersebut masih tidak jauh berbeda dengan kata 'jangan', akan tetapi akibatnya bisa jadi malah lebih parah dari sekedar pilihan karena anak Anda memang masih anak-anak dan bukan anggota militer yang sudah dewasa, terorganisir serta paham maksudnya.

Kata 'jangan' sebenarnya kosa kata biasa. Kapan dan dimana pun, manusia akan menggunakan kosa kata itu untuk menyampaikan pesan. Misalnya, pada daerah aliran sungai (DAS) terutama yang dekat perkampungan biasanya dipasang papan peringatan yang berbunyi, "Jangan buang sampah di Daerah Aliran Sungai) karena akan menyebabkan banjir!" Dengan larangan yang jelas saja masih banyak orang yang buang sampah ke aliran sungai, bagaimana jadinya jika diganti dengan "Sebaiknya tidak membuang sampah ke daerah aliran sungai (DAS) karena….", karena hanya berupa pilihan maka tentulah orang-orang akan memilih gampangnya saja dengan membuang sampah ke sungai seperti biasa mereka lakukan selama ini. Ini orang-orang yang sudah dewasa, apalagi yang masih anak-anak.

Kata 'jangan' memang terkesan mengarahkan, mengatur, membimbing bahkan membatasi. Dan memanglah demikian adanya, karena ruang dan waktu sudah diatur dan ada batasannya. Para panganut humanisme liberal pun sebenarnya sadar mengenai hal tersebut. Namun, mereka seakan menolak apabila kata 'jangan' muncul dari ketentuan agama yang berasal dari Rabb Yang Maha Mengatur segala sesuatu. Mereka tidak akan ribut jika kata 'jangan' tersebut misalnya ada pada rambu-rambu lalu lintas atau keluar dari buku petunjuk penggunaan kendaraan bermotor.

KESIMPULANNYA

Setiap apapun juga, termasuk perkataan, akan berfungsi dengan baik jika digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang sudah semestinya. Gunakanlah perkataan yang baik jika menyampaikan berbagai hal, baik mengandung pilihan ataupun tidak. Sampaikanlah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Namun, jika hal yang akan disampaikan merupakan sesuatu yang bersifat prinsip dan larangan yang mengkhawatirkan, berbahaya, dan bisa berakibat buruk jika dilanggar baik pada saat sekarang maupun di masa depan (terutama masalah aqidah), maka sebaiknya gunakan kata 'jangan' atau sejenisnya serta tambahkan pula alasan dan solusinya. Sampaikanlah juga dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata,
"Alangkah banyaknya pelajaran, namun sangat sedikit orang yang mengambil pelajaran." Allahu a'lam bishshawab.


 اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً 
(Yā ALLAH, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik dan amal yang diterima) .
 آمِيْنَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . 

Sumber : link

Post a Comment

0 Comments